Yudhy Network
Beranda Kesehatan 2 Faktor Ini Jadi Acuan Masyarakat Indonesia untuk Pro atau Kontra soal Childfree

2 Faktor Ini Jadi Acuan Masyarakat Indonesia untuk Pro atau Kontra soal Childfree

Yudhy.Net, Jakarta Sekitar delapan dari 100 perempuan usia subur yang sudah menikah dan tidak menggunakan kontrasepsi akan tidak memiliki anak pada tahun 2022.

Jumlah tersebut setara dengan 0,1 persen perempuan berusia 15-49 tahun. Artinya, satu dari 1.000 perempuan dewasa di Indonesia memutuskan untuk tidak memiliki anak atau tidak memiliki anak.

Angka tersebut tersaji dalam DATAin Departemen Analisis dan Perkembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) edisi 2023.01-1.

Penelitian ini juga menjelaskan bahwa masyarakat mainstream masih beranggapan bahwa seseorang mempunyai identitas perempuan jika memiliki anak, terutama anak kandung.

Menurut Rügemer dan Dziengel dalam Journal of Women and Aging (2022), kemampuan melahirkan anak menempatkan perempuan pada status sosial yang lebih tinggi karena mereka memiliki generasi penerus. Oleh karena itu, mereka yang tidak mempunyai anak dianggap sebagai orang bermasalah di masyarakat.

“Di Indonesia, konsep anak tanpa anak belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Melalui media sosial YouTube, banyak masyarakat yang memberikan komentar negatif tentang pandangan hidup tanpa anak,” demikian artikel DATAin yang ditulis oleh Yuniarti S.C., M.S. dan Satria Bagus Panuntun S.Tr.Stat Selasa (19/11/2024).

Pendapat yang netral menjadi kurang penting karena masyarakat beranggapan bahwa setiap pilihan hidup manusia harus dihormati, tidak boleh diintervensi, kecuali diintervensi.

Kajian tersebut dilakukan oleh Guru Besar Ekonomi dan Demografi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Omas B. Samosir, calon ilmu kedokteran, juga mengatakan hanya 8 persen masyarakat yang memberikan penilaian positif terhadap paradigma baru ini.

Sementara itu, penolakan terhadap kebebasan anak terkait dengan norma agama. Diskusi bebas anak di YouTube mencakup kata-kata “Tuhan”, “agama”, “Allah”, dan “keegoisan”.

Secara umum, pengguna media sosial berpendapat bahwa prinsip tidak memiliki anak sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang telah ditetapkan Tuhan. Selain itu, pengikut yang tidak memiliki anak adalah orang-orang yang egois dan hanya memikirkan diri mereka sendiri.

Namun, masyarakat yang mendukung tidak memiliki anak dinilai sangat beralasan.

Kata “beban” dan “ketakutan” mengacu pada mereka yang menganggap bahwa anak dapat menjadi beban finansial dan ekonomi bagi keluarga.

Oleh karena itu, orang-orang yang takut tidak mampu membiayai anak-anaknya atau merawatnya dengan baik, memilih untuk tidak memiliki anak.

Selain itu, perempuan yang menempuh pendidikan tinggi juga banyak yang menunda bahkan tidak ingin memiliki anak, terutama yang bergelar master dan doktor.

Meningkatnya persentase perempuan tanpa anak yang lulus dari perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat pendidikan yang tinggi dan paradigma baru kepemilikan anak.

“Namun, harus dikatakan bahwa persentase perempuan yang tidak memiliki anak dengan pendidikan menengah atau lebih rendah sangatlah tinggi.”

Menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), tingkat pendidikan sangat mempengaruhi kesempatan kerja yang pada akhirnya menentukan status ekonomi seseorang.

Oleh karena itu, tampaknya keputusan hidup tanpa anak di Indonesia tidak hanya bergantung pada peningkatan tingkat pendidikan, tetapi juga masalah keuangan, tulis Uniarti.

Kesimpulan ini didukung oleh fakta menariknya perempuan yang berkomitmen untuk tidak membawa anak ke dunia kerja.

Dari SUSENAS 2022, sekitar 57 persen perempuan tanpa anak tidak berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu faktor penentu keputusan hidup tanpa anak. Pada saat yang sama, sebagian besar anak-anak bebas terlibat dalam pekerjaan, terlibat aktif dalam perdagangan.

Kabar baiknya adalah lebih dari 80 persen perempuan tanpa anak sudah tinggal di rumah mereka sendiri di tengah kenaikan harga properti.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan