Anak Berhak Bersuara tapi Budaya Patriarki Kadang Jadi Hambatan

Anak Berhak Bersuara tapi Budaya Patriarki Kadang Jadi Hambatan

Yudhy.Net, Jakarta Suara anak merupakan hak yang diakui oleh peraturan nasional dan internasional. Namun, budaya patriarki seringkali menciptakan hambatan yang membuat suara anak tidak dianggap penting.

Pribudiarta Nur Sitepu, Anggota Parlemen Bidang Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menjelaskan, konsep ini berakar dari anggapan bahwa orang dewasa, khususnya laki-laki, mengetahui segalanya, termasuk anak-anak. 

“Budaya orang tua menimbulkan kesan bahwa suara anak dianggap tidak normal karena orang dewasa dianggap lebih mengetahui keadaan, padahal anak lebih mengetahui keadaannya sendiri.” Sekarang,” kata Pribudiarta dalam seri Wacana Perlindungan Anak edisi pertama bersama Vahana Vesey. Indonesia online di Internet. Akhir November 2024. 

Namun dalam implementasi kebijakan terkait anak, partisipasi anak sangatlah penting. Hal ini termasuk kebijakan untuk melindungi anak dari kekerasan. 

“Sebagai perwujudan hak berpartisipasi, anak perlu berpartisipasi sebagai pemangku kepentingan utama dan didengarkan dalam konteks politik. Setiap anak berhak untuk dilihat, dihormati, dan dipenuhi”, Direktur teknis sektor Wahana Vesi Indonesia, kata Jacobs Runteven. pada saat yang sama. 

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah dan berbagai instansi pemerintah selalu berupaya membuka tempat bagi anak-anak. Dalam konteks ini, serangkaian dialog mengenai perlindungan anak dengan dukungan PPP Cayman akan dilaksanakan secara bertahap hingga April 2025.

“Langkah ini memberikan ruang bagi anak-anak Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya sehingga rencana pemerintah menjadi lebih inklusif,” kata Perbudyarta.

 

 

Salah satu kegiatan tersebut adalah partisipasi anak dalam forum politik, seperti konferensi tingkat menteri di Kolombia yang dihadiri oleh Griselda, perwakilan anak Indonesia.

“Konferensi ini tentang mengakhiri kekerasan terhadap anak. Saya berkesempatan berdiri di hadapan para menteri dari seluruh dunia untuk menyampaikan suara saya dan mendorong teman-teman saya untuk berpartisipasi aktif bersama anak-anak untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak,” kata Griselda.

Pengalaman ini menjadi bukti bahwa suara anak tidak hanya memberikan perspektif baru, namun juga memperbaiki proyek pembangunan. Griselda yang juga merupakan penyandang disabilitas mengungkapkan tekadnya untuk terus memperjuangkan kesetaraan.

“Saya senang bisa menyuarakan suara saya dan teman-teman untuk berpartisipasi aktif bersama anak-anak untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak,” ujarnya.

 

Di tingkat daerah, menurut Razia, anggota Dewan Pembina Anak Wahana Vesi Indonesia menekankan pentingnya dukungan pemerintah dalam mendengarkan keinginan anak-anak di kota. 

“Pemerintah kota dan desa mendukung suara anak-anak dengan mendengarkan dan mendanai. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap kemitraan dengan kegiatan remaja Posyando karena remaja masih belum berminat untuk berpartisipasi,” kata Redia.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *