Yudhy.Net, Jakarta Jumlah kasus pembunuhan keluarga, atau pembunuhan anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, semakin meningkat di Indonesia.
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus pembunuhan dalam rumah tangga seringkali meningkat pada akhir dan awal tahun. Apalagi ketika tekanan finansial akibat hutang, khususnya pinjaman online (nanas) semakin meningkat. Situasi ini seringkali menimbulkan rasa putus asa yang berujung pada tindakan fatal.
Anggota KPAI sekaligus pengurus klaster kekerasan fisik dan/atau psikis Diyah Puspitarini mengatakan pihaknya bersikap tegas terhadap meningkatnya kasus pembunuhan dalam rumah tangga. Pasalnya, sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak, anak yang meninggal berhak mendapatkan kejelasan penyebab kematiannya dan tidak terkena stigmatisasi negatif.
Lebih lanjut, Diyah menekankan pentingnya hak anak untuk memperjelas penyebab kematian tanpa stigmatisasi negatif. Kejadian ini harus menjadi peringatan serius agar tidak terulang lagi, ujarnya.
Kasus tragis terbaru terkait pembunuhan keluarga menimpa sebuah keluarga yang diduga berusaha mengakhiri hidup bersama di Kediri pada Sabtu, 14 Desember 2024. Meski ayah, ibu, dan anak pertama (5) berhasil diselamatkan, namun satu anak (2) meninggal dunia.
Peristiwa ini diduga dipicu permasalahan finansial, khususnya utang internet kredit perbudakan (nanas). Saat ini keluarga yang selamat masih menjalani perawatan dan pendampingan, kata Diyah merujuk siaran pers yang dikeluarkan, Rabu (18/1). 12/2024).
Tak lama kemudian, tragedi serupa terjadi di Cirende, Tangsel pada Minggu 15 Desember 2024, dimana satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (3) ditemukan tewas.
Belum diketahui penyebabnya, namun sang istri melimpahkan masalah utang kreditnya kepada tetangga.
Fenomena memilukan ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, kejadian serupa juga terjadi di Malang dan Pesanggrahan. Sebuah keluarga meninggal di Malang, kecuali anak bungsu yang berhasil diselamatkan.
Sedangkan di Pesanggrahan pada Januari 2024, satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anaknya meninggal setelah melompat dari apartemen.
“Penyebab utamanya diyakini karena faktor ekonomi, khususnya perbudakan kredit,” kata Diyah.
Diyah menegaskan, KPAI mengimbau kepolisian segera mengusut tuntas penyebab kematian melalui otopsi dan penyidikan transparan agar akar permasalahan dapat diketahui dan dicegah di kemudian hari. Juga meminta polisi mengadili sang ayah dalam kasus Kediri berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya pasal 76C junto 80.
KPAI juga menghimbau kepada Dinas Kesehatan dan UPTD PPA untuk memberikan pendampingan psikologis kepada keluarga penyintas, khususnya di Kediri, agar kondisi mental dan emosionalnya dapat pulih.
Diyah mengimbau masyarakat meningkatkan kesadaran dan pencegahan dini terkait kesehatan jiwa untuk mencegah kejadian serupa. Kemudian penting juga bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menindak tegas pinjol ilegal yang menakuti nasabah dan menimbulkan korban jiwa.
Kasus-kasus tersebut di atas mencerminkan fenomena pembunuhan dalam rumah tangga, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap pasangan hidupnya dan anak-anaknya secara bersamaan.
Pembunuhan ini masuk kategori pembunuhan massal karena melibatkan banyak korban sekaligus.
Penyebab utamanya seringkali adalah hilangnya kendali, terutama dalam hal finansial, yang biasanya dirasakan oleh kepala keluarga laki-laki. Ketidakmampuan mengatasi tekanan finansial membuat pelaku merasa putus asa bahkan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya bersama anggota keluarganya.
Penyebab utama terjadinya pembunuhan dalam rumah tangga umumnya berkaitan dengan tekanan finansial yang berat, yang seringkali dirasakan oleh kepala keluarga laki-laki sebagai penanggung jawab keuangan keluarga.
Hilangnya kendali atas stabilitas keuangan rumah tangga membuat individu merasa kehilangan jati diri, harga diri, dan kemampuan memenuhi harapan sebagai “kepala keluarga”.
Situasi ini menimbulkan rasa putus asa yang mendalam, sehingga pelaku cenderung percaya bahwa satu-satunya solusi adalah mengakhiri hidup bersama anggota keluarganya.
Dalam banyak kasus, jeratan utang, terutama dari pinjaman, menjadi pemicu utamanya. Suku bunga yang tinggi, penagihan yang agresif, dan intimidasi terhadap pemberi pinjaman mendorong keluarga ini ke posisi terbawah. Tak hanya masalah finansial, faktor mental dan emosional pun turut berperan besar dalam melahirkan tindakan nekat tersebut. Depresi, perasaan gagal dan ketidakmampuan mencari bantuan meningkatkan risiko.
Yang paling menyedihkan dari fenomena pembunuhan keluarga adalah anak-anak yang juga menjadi korban. Mereka belum mempunyai kekuatan untuk melawan dominasi orang tua, apalagi jika usianya masih sangat muda. Kasus tragis seorang anak yang ditemukan gantung diri di Cirende merupakan contoh nyata bagaimana anak-anak dipaksa untuk “berpartisipasi” dalam pengambilan keputusan ekstrim yang dilakukan orang tuanya. Pada anak remaja, terkadang ada upaya perlawanan, namun dominasi fisik dan psikologis orang tua membuat upaya tersebut jarang berhasil.
“Dengan adanya perhatian serius dari pemerintah, penegak hukum, masyarakat dan keluarga luas, kami berharap kejadian serupa dapat dicegah di kemudian hari. Semua pihak harus bersatu untuk memastikan keluarga yang berada dalam kesulitan tidak merasa sendirian dan mencari jalan keluar yang lebih baik. solusi manusiawi pungkas Diyah.