Yudhy.Net, Jakarta – Pasar saham global pekan ini bergejolak. Hal ini didorong oleh pesan yang lebih kuat dari Ketua Federal Reserve (Fed), Jerome Powell. Selain itu, rencana The Fed yang baru-baru ini dirilis menunjukkan bahwa para pengambil kebijakan berhati-hati dalam menurunkan suku bunga.
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia yang dipublikasikan Senin (13/1/2025), bank sentral Amerika Serikat (AS) diyakini sedang mengambil tindakan untuk menurunkan suku bunga dan melihat kecepatan korbannya.
“Ekspektasi inflasi naik karena mempertimbangkan dampak kebijakan perdagangan akibat penerapan tarif dan dampak kebijakan imigrasi,” ujarnya.
Ashmore mengatakan pasar saat ini memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 41 basis poin (bps) hingga akhir tahun 2025. Hal ini berbeda dengan ekspektasi pada September 2024. Pasar memperkirakan sebesar 10,2 persen pada tahun 2025.
“Namun perubahan besar ekspektasi suku bunga ini harus disadari sekarang, jika kita melihat ekspektasi suku bunga bulan Desember 2024, datanya akan berubah pada kuartal terakhir tahun 2023 dimana suku bunga akan lebih rendah dari 4,8 persen menjadi 3,6% , “katanya.
Pada kuartal I tahun 2024, ekspektasi suku bunga direvisi naik menjadi 4,7 persen. Di sisi lain, hal ini berbeda dengan triwulan sebelumnya, harga keuangan diperkirakan pada bulan Desember 2025, pasar akan melihat tren yang berbeda dan berbeda pada triwulan keempat tahun 2024. Harga bank meningkat dari 2,8 menjadi 4 persen.
“Lalu apa yang terjadi, dan akankah kita melihat perubahan itu lagi pada kuartal pertama tahun ini?”
Melihat berbagai faktor yang menggerakkan suku bunga dari turun menjadi naik pada kuartal pertama tahun 2024, Ashmore melihat pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dari perkiraan dan kekuatan kerja serta data untuk pertumbuhan hasil bisnis di samping tingginya biaya dunia. . karakteristik. Hal ini bertepatan dengan meningkatnya ketegangan politik dan meningkatnya biaya layanan.
“Ekspansi ini membuat pasar mengharapkan panduan yang lebih kuat dari The Fed,”
Namun, mengingat tren pertumbuhan lapangan kerja saat ini, termasuk inflasi, Ashmore melihat tren tersebut terus menurun dengan non-farm payrolls (NFP) yang masih berada di bawah rata-rata (dan (berbagai faktor selama pandemi COVID-19) termasuk penurunan inflasi.
Selain itu, Donald Trump akan memulai masa jabatan keduanya, sementara pendorong inflasi masih tinggi, dengan tekanan ke bawah seperti kenaikan biaya energi.
“Secara keseluruhan, kami pikir situasi saat ini serupa dengan apa yang kita lihat di masa lalu, namun ekspektasi imbal hasil dan suku bunga mendekati batas atas,” kata pernyataan itu.
Ashmore yakin investor bisa mendapatkan keuntungan dengan tetap berinvestasi selama periode suku bunga tinggi karena mereka mempunyai peluang untuk membeli dengan harga rendah. “Kami masih optimis dengan saham-saham Indonesia yang menguntungkan dan dapat mengembangkan infrastruktur dengan dukungan pemerintah,”
Ashmore juga mencatat bahwa instrumen pendapatan tetap menarik dalam penilaian karena imbal hasil jangka panjang tetap kuat. “Kami merekomendasikan agar kami terus berinvestasi pada sumber daya air dan proyek-proyek paling kuat untuk menghasilkan keuntungan jangka panjang yang baik,” katanya.
Secara historis, Indeks Inflasi (IHSG) melemah pada periode 6-10 Januari 2025. Peneliti menilai penguatan IHSG didorong oleh data industri China dan pergerakan nilai tukar rupiah pada pekan ini.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) yang tercatat pada Sabtu (11/1/2025), IHSG terpangkas 1,05 persen menjadi 7.088,86 dari level pekan lalu sebesar 7.164,42.
Kapitalisasi pasar saham turun 0,34 persen menjadi Rp12,403 triliun dari pekan lalu Rp12,445 triliun. Selain itu, rata-rata harga harian turun 10,45 persen menjadi Rp8,72 triliun dari pekan lalu Rp9,74 triliun.
Rata-rata harga harian turun 17,37 persen menjadi 17,66 miliar lembar saham dari 21,38 miliar lembar saham pada pekan lalu.
Sementara rata-rata penjualan harian naik 0,89 persen menjadi 1,04 juta dari 1,03 juta pada pekan lalu.
Investor asing memborong saham senilai Rp 2,11 triliun pada pekan ini. Perdagangan ini lebih banyak dibandingkan pekan lalu yang mencapai Rp 256,38 miliar.
Analis PT MNC Sekuritas Herditya Wicaksana mengatakan, IHSG turun 1,05 persen karena beberapa faktor. Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kerap mengalami tekanan. Kami memperkirakan hal ini merupakan reaksi pelaku pasar yang menunggu dan melihat risalah bank sentral AS atau Federal Reserve (target) mengenai penurunan suku bunga.
Kedua, rilis data Jolts Jobs Openings menunjukkan peningkatan lapangan kerja, namun di sisi lain pelaku pasar juga menantikan data non-farm payrolls (NFP) yang akan dirilis pada minggu ini.