Yudhy.Net, Jakarta – Tuberkulosis atau TBC masih menjadi ancaman serius meski ada kemajuan dalam upaya pengendaliannya.
Tuberkulosis masih dianggap sebagai ancaman serius, terutama dengan munculnya strain yang resistan terhadap obat (TB-MDR).
Menurut ahli epidemiologi dan pakar kesehatan global Dicky Budiman di Indonesia, TBC menjadi prioritas kesehatan utama karena tingginya jumlah kasus yang terus meningkat setiap tahunnya.
Pada semester pertama tahun 2024, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat 30.000 kasus baru TBC di Jakarta selama enam bulan pertama. Angka tersebut mencerminkan besarnya beban yang dihadapi Indonesia dalam penanganan penyakit ini. Bagaimana sejarah penyakit TBC di Indonesia?
Dicky menjelaskan, TBC pertama kali tercatat di Indonesia pada masa penjajahan. Saat itu, TBC dikenal sebagai penyakit paling berbahaya. Terutama di kalangan masyarakat miskin dan padat penduduk.
Pada era kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai mengambil tindakan pengendalian TBC yang lebih serius dengan ditetapkannya Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis (NTP). Program ini bertujuan untuk meningkatkan deteksi tepat waktu, pengobatan yang tepat dan pencegahan infeksi melalui pendidikan kesehatan masyarakat. Bagaimana distribusi global TBC di ASEAN dan Indonesia?
Di seluruh dunia, TBC adalah salah satu penyakit menular yang paling mematikan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2021, TBC akan menginfeksi sekitar 10,6 juta orang dan menyebabkan hampir 1,6 juta kematian.
Mulai tahun 2022, India dan Indonesia akan memiliki jumlah kasus TBC tertinggi di dunia. Di Asean, Indonesia mempunyai jumlah kasus TBC tertinggi.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari satu juta kasus TBC setiap tahunnya. Prevalensi TBC mencakup semua kelompok umur, namun terutama terjadi pada orang dewasa produktif.
Selain itu, angka resistensi obat (MDR-TB) semakin meningkat, kata Dicky dalam keterangan tertulis yang diperoleh Health Yudhy.Net, Kamis (12/9/2024). .” .
Dicky menambahkan, TBC menular melalui udara ketika seseorang menghirup droplet yang mengandung Mycobacterium tuberkulosis.
Tetesan ini dapat dikeluarkan ketika pasien batuk, bersin, atau berbicara. Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pengidap HIV/AIDS, diabetes, atau malnutrisi, berisiko lebih tinggi terkena infeksi.
Tuberkulosis juga dapat terjadi di tempat umum yang ventilasinya buruk. Seperti rumah sakit, puskesmas dan angkutan umum yang ramai. Hal ini memperkuat pentingnya pengendalian infeksi di situasi ini.
Beberapa faktor berperan dalam peningkatan kasus TBC di Indonesia, termasuk kepadatan penduduk: Kota-kota seperti Jakarta memiliki populasi yang padat, sehingga meningkatkan risiko infeksi. Stigma sosial: Banyak pasien TBC yang enggan didiagnosis atau diobati karena takut dicegah. Epidemi COVID-19: Epidemi ini telah mengganggu layanan kesehatan, termasuk program deteksi dan pengobatan TBC. Meningkatkan resistensi obat: Kasus TB-MDR di Indonesia merupakan tantangan pengobatan yang besar dan memerlukan pengobatan khusus. Kemiskinan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap sulitnya penanganan TBC.
Pengobatan TBC melibatkan kombinasi antibiotik yang diminum secara teratur selama enam hingga sembilan bulan.
Pengobatan ini harus tuntas untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Kasus TBC yang tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi serius, termasuk TBC MDR, yang memerlukan pengobatan yang lama dan rumit.
Pencegahan TBC meliputi: Vaksinasi Bacillus Calmette-Guérin (BCG) untuk anak-anak untuk mencegah bentuk TBC yang parah. Pendidikan kesehatan masyarakat tentang pentingnya etika batuk dan kebersihan pernafasan. Pemeriksaan rutin terhadap kelompok risiko tinggi seperti petugas kesehatan dan masyarakat yang tinggal sekeluarga dengan korban TBC.